Desain dalam arti sempit, terkait dengan benda–benda yang dikonsumsi dalam kehidupan sehari–hari dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Produksi barang–barang konsumsi modern memerlukan desain untuk men-satu padukan dua hal yang saling bertentangan: “Keseragaman untuk produksi massal dengan identitas keunikan”. Di kota, proses produksi dan konsumsi mengalami intensitas yang sangat tinggi. Jumlah barang yang tersedia pun selalu terjaga dengan tingkat keberagaman model atau seri produk baru yang tinggi. Dengan sendirinya, kota kemudian menjadi tempat persaingan yang ramai, dalam hal jumlah maupun berbagai macam ragam kepribadian benda–benda konsumsi. Keramaian ini tidak hanya menjajah ruang publik, tapi juga mulai merambah ruang pribadi melalui media dan teknologi informasi.
Dalam keadaan seperti itu, masyarakat cenderung berada di dalam dua kubu ekstrem: antara hanyut dan mengidentifikasikan dirinya dengan benda–benda yang dikonsumsi ( trance ), atau hanya menjadi penonton, menghayati dan sepenuhnya menjaga jarak, sambil melihat benda–benda tersebut datang dan pergi ( meditatif ).
Bagaimana menjalankan kesenian dalam keadaan tersebut? Apakah laku berkesenian harus berperan heroik menyelamatkan tiap orang? Ataukah berperan sebagai badut yang bijak, yang dengan usil mengganggu trance maupun meditatif tersebut?
Nirwan Dewantoro perwakilan dari komunitas Salihara, dalam sambutannya pada pembukaan pameran seni rupa Rupa Belanja - Rupa Kota hari Sabtu 14 Januari 2012 kemarin, mengungkapkan : Kota-kota besar kita telah menjadikan kita separuh warga belaka. Jika kita benar – benar seorang warga, kemana ruang-ruang publik tempat kita untuk menyatakan diri sebagai seorang warga?
Kurator pameran seni rupa Rupa Belanja – Rupa Kota, Marco Kusumawijaya yang turut hadir pada pembukaan pameran seni rupa ini, dengan bangga memperkenalkan seluruh seniman seniman yang menampilkan karya–karyanya dalam pameran seni rupa ini kepada para pengunjung yang hadir. Seniman–seniman tersebut terdiri dari Irwan Ahmett (seniman dan Desain Grafis dari Jakarta), Wiyoga Muhardanto (seniman Seni Rupa dan Desain dari Bandung), dan indieguerillas (duet seniman Seni Rupa asal Yogyakarta).
Mereka para seniman muda itu adalah generasi yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi informasi dan media, dan tumbuh di dalam lingkungan pasar modern Indonesia. Selama hampir satu tahun kami mempersiapkan pameran seni rupa Rupa Belanja – Rupa Kota ini, ujar arsitek yang bekerja sebagai konsultan perencanaan pembangunan perkotaan itu. Beliau juga menjelaskan tujuan diadakannya pameran seni rupa ini. Tujuan kami adalah mengajak berpikir kepada pengunjung pameran dengan memanfaatkan karya–karya mereka yang tampil di ruang pameran ini, bahwa ruang kota adalah lebih dari sekedar fungsi dan bahkan tidak dapat dibentuk apabila hanya atas dasar gaya hidup, tutupnya.
(Salah satu karya Irwan Ahmett)
Tepat pada pukul 19.30 WIB, pameran seni rupa Rupa Belanja - Rupa Kota resmi dibuka. Para tamu-tamu undangan dan pengunjung pameran yang hadir akhirnya dipersilakan untuk menuju ke ruang galeri Salihara. Sesampainya di depan pintu masuk ruang galeri, Irwan Ahmett (seniman dan Desain Grafis, asal Jakarta) meminta para pengunjung pameran terlebih dahulu berdiri berhimpitan pada satu lahan yang terbatas seperti layaknya sebuah angkutan umum. Setelah para pengunjung pameran sudah berhimpit–himpitan dengan pengunjung lain, akhirnya pintu masuk ruang galeri terbuka. Kemudian Irwan Ahmett memberikan aba–aba kepada semua pengunjung pameran, untuk berjalan berbaris masuk kedalam ruang galeri sambil mengeluarkan umpatan–umpatan. Sebuah aksi performance yang sangat unik karena melibatkan seluruh pengunjung pameran untuk turut merasakan fasilitas tranportasi umum yang penuh sesak seperti suasana kota sekarang.
Irwan Ahmett
Irwan Ahmett (sebelah kanan)
Nama Irwan Ahmett mulai dikenal publik sebagai seniman pada tahun 2005 silam, ketika ia mempresentasikan proyek Change Yourself di kota kota besar Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Melalui ribuan stiker, Irwan Ahmett mengajak banyak anak muda untuk melakukan perubahan kecil terhadap hidup mereka sekaligus menyuarakan perubahan terhadap lingkungan disekitar mereka ke arah yang lebih baik. Sejak itu, karya–karya Irwan mulai banyak dikenal banyak orang. Karya–karya Irwan yang di pamerkan dalam pameran seni rupa “Rupa Belanja”, senantiasa berkutat pada emosi dan perilaku manusia yang dipadukan dengan pengamatan mendalam terhadap kepribadian manusia.
JALA PAHALA
Dengan sedikit kreatif seorang penjaga masjid mengalih fungsikan sebuah jala yang seharusnya digunakan untuk menangkap ikan, diubah menjadi penangkap uang (tranformasi fungsi). Dan setiap pengunjung pameran diajak untuk memasukkan uangnya ke dalam Jala Pahala secara sukarela.
Terinspirasi dari jasa ojek payung, Irwan dan Citrani Ekalamda mencoba merancang Payung Bulan Ini, yang menampilkan informasi ramalan cuaca selama satu bulan dengan berdasarkan data prosentase lingkaran.
EEL OIL
Eel Oil ini mampu membuat tubuh para penumpang didalam kendaraan umum menjadi licin seperti belut, sehingga memudahkan siapa saja untuk lolos dari himpitan penumpang lain.
KIPAS PENGLARIS
Kebiasaan para pedagang untuk mengibas-ngibaskan uang keseluruh barang dagangnya apabila ada seorang pembeli pertama di hari itu (penglaris), merupakan sebuah lintas tradisi turun menurun, yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Kebiasaan orang berhitung uang di pasar, dengan merekonstruksikannya melalaui “air liur” yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mempercepat perhitungan uang.
MESSENGER BERJAMAAH
Satu lagi performance art yang melibatkan para pengunjung pameran yang menggunakan alat komunikasi Blackberry, diajak untuk turut terlibat langsung melakukan koordinasi gerakan dan komunikasi berkelompok secara berjamaah dalam kondisi “terkunci”. Mobile messenger sendiri kini telah menginterupsi atau menghipnotis pemiliknya untuk menempatkan sebuah benda menjadi “pasangan hidup” yang paling intim.
Wiyoga Muhardanto
Seniman lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, mayor patung ini, memfokuskan konsep duplikasi pada karya–karyanya, melalui pembuatan replika obyek–obyek di dalam kehidupan sehari–hari.
Wiyoga Muhardanto (sebelah kiri)
Tidak hanya sekedar membuat replika terhadap obyek–obyeknya, Wiyoga (Nama panggilannya) juga menaruh atau menampilkan obyek tertentu di tempat yang wajar tetapi tidak menyertakan fungsinya. Sebuah pemikiran yang unik dalam upaya mendekatkan kembali para pengunjung pameran terhadap benda–benda yang sering di temui setiap hari, namun tidak mendapatkan perhatian yang khusus.
Hubungan kompleks kota Bandung dan Jakarta menjadi titik tolak ide karyanya, yang melibatkan para komuter atau mereka yang bolak–balik di antara kedua kota tersebut. “Mencari nafkah di Jakarta pada hari kerja dan menghabiskan libur di Bandung”.
Short Term Plan Expo, demikian karya–karya Wiyoga disebut dalam pameran seni rupa Rupa Belanja – Rupa Kota ini. Wiyoga sendiri meletakkan kota Bandung sebagai fokus untuk diamati. Mengapa? Karena sebagai sebuah kota diantara pedesaan dan metropolitan, kota Bandung sendiri telah menjadi ruang bermain bagi para “pekerja urban” yang bingung mencari tempat untuk bernafas lega di tengah kesesakan hidup.
INDIEGUERILLAS
Duet seniman asal Yogyakarta, yang juga dikenal karena eksprimentasi atas efek–efek visual dan karya antar sebagai medianya. Santi Ariestywanti dan Dyatmiko “Miko” Lancur adalah duo seniman lulusan Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Santi Ariestywanti (tengah) & Dyatmiko “Miko” Lancur (sebelah kanan)
Karya-karya mereka merupakan gabungan sekaligus perlintasan dari berbagai macam ranah; lukisan, seni grafis, desain dan media–media baru yang dicampur adukkan dan dikemas kedalam gaya yang sangat khas.
Bagi pemikiran Santi dan Miko, kota–kota besar di Indonesia tidak ubahnya seperti kampung dalam ukuran yang lebih besar dan dihuni lebih banyak orang. Meskipun sudah di bumbui dengan kehidupan urban yang glamour dan serba modern ini, namun perilaku manusianya tetap sama dengan perilaku masyarakat pedesaan. Dari pemikiran itu, dalam pameran seni rupa Rupa Belanja Rupa Kota ini, mereka menghadirkan karya yang berjudul Urban Jungle Warfare 2.
Kumpulan obyek tiga dimensi yang dibangun sebagai sebuah instalasi peradaban, dengan pusat–pusat perbelanjaan dan kekuasaan sebagai kuilnya, dan betapa khusuk-nya masyarakat kota melakukan ibadah konsumtif dalam fatamorgana.
Pameran seni rupa Rupa Belanja – Rupa Kota sendiri akan diselenggarakan sampai tanggal 31 Januari 2012 dan digelar di Galeri Salihara, Jakarta. Pameran ini merupakan salah satu pameran pertama yang diadakan oleh Komunitas Salihara, dalam rangkaian acara di tahun 2012. Sebagian besar penyusunan dan pelaksanaan program acara komunitas Salihara dalam kalender tiga bulanan (Januari-Maret 2012) ini, dikemas/dihadirkan kedalam paket–paket, katakanlah semacam festival–festival alit dan kemudian akan berpuncak pada Festival Salihara di bulan September–Oktober. Festival Salihara sendiri adalah pesta seni pentas dua-tahunan yang memberikan kombinasi acara yang bersifat puncak, dengan menampilkan sejumlah kelompok seni pentas dari berbagai Negara di belahan dunia, termasuk Indonesia.
Written : Dimzkribs
Foto : Dimzkribs
Liputan yang menarik sekali. Tulisannya juga bagus, saudara Dimzkribs ;)!
BalasHapus