Salah satu rangkaian bedah buku seri catalog data IVAA #1 Rupa Tubuh, yang saya hadiri adalah sebuah diskusi yang membahas tentang wacana gender dalam seni rupa Indonesia. Dua pembicara yang begitu kompeten di bidang masing-masing, dihadirkan ke dalam forum yang digelar pada hari senin, 23 Januari 2012, di KOMNAS Perempuan, Jakarta.
Heidi Arbuckle
Pembicara pertama ini adalah seorang peneliti seni dan aktivis media. Dalam diskusinya, Heidi Arbuckle memaparkan tiga pendekatan terhadap penerapan atau penggunaan wacana gender di dalam seni rupa Indonesia. Pendekatan pertama adalah pendekatan yang sangat dominan di dalam menerapkan wacana gender seni rupa di Indonesia. Mengapa? Karena gender itu sendiri selalu diangkat dan diidentikan dengan sosok seorang perempuan, baik sebagai subyek maupun obyek didalam sebuah karya seni. Namun, sering kali para seniman rupa laki-laki justru ikut meminggirkan atau memojokkan perempuan dari pembahasan wacana dominan di dalam seni rupa itu sendiri. Sehingga semua seniman rupa perempuan mempunyai isensi yang sama.
Lalu lanjut ke pendekatan kedua, pendekatan ini sangat menarik perhatian Heidi Arbuckle, karena pendekatan ini merupakan sebuah terobosan baru di dalam buku ini. Dimana tubuh perempuan selain menjadi sebuah obyek, juga dapat berperan sebagai sarana untuk membentuk subyektifitas model sang seniman. Terakhir, pendekatan ketiga yang sangat jarang diterapkan oleh seniman laki-laki dalam pembahasan mengenai gender seni rupa di Indonesia. Karena gender dalam artian di dalam pendekatan ini, merupakan sesuatu yang bersifat pertularan dan gender itu sendiri berfungsi sebagai sistem penandahan.
Dari ketiga pendekatan wacana gender di dalam buku rupa tubuh, Heidi Arbuckle menyimpulkan subyektifitas dalam mempresentasikan kemaskulian yang dominan serta tubuh maskulin yang hedoseksual, masih belum cukup untuk dibahas di dalam buku ini. Sehingga paradigma dominan sejarah seni rupa di Indonesia, jarang diganggu gugat.
Tubuh arsip seni rupa Indonesia adalah tubuh yang maskulin.
Bagaimana mencari strategi alternative dalam mempresentasi isu gender seni rupa di Indonesia?
Sangat sederhana, jawabnya. Strategi yang pertama, seniman perempuan tidak usah diserabut atau dipisahkan dari pembahasan tentang paradigma dominan seni rupa. Sehingga sangkut pautnya sangat erat dengan persoalan gender. Kemudian strategi yang kedua, kemasan yang dominan dalam wacana seni rupa di Indonesia menurut saya harus segera diangkat, harus diganggu dan harus dibongkar. Sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti, "kenapa seniman perempuan ter-marjinalkan didalam seni rupa, atau kenapa musti ada istilah seniman perempuan", dapat dijawab dengan mudah kalau kita berbalik ke persoalan konstruksi kemaskulinan dalam proses menjadi seniman modern.
Saya melihat usaha IVAA dalam mempresentasikan isu gender seni rupa di Indonesia adalah mengumpulkan fregmen-fregmen yang terpinggirkan atau fregmen-fregmen feminim. Tetapi saat mengumpulkan kembali, menurut saya fregmen-fregmen ini malah dipisahkan dari konteks/wacana yang dominan ini, tutupnya.
Saras Dewi
Selain menulis tema-tema sosial, budaya dan politik, pembicara kedua di acara diskusi itu adalah, Saras Dewi ketua dan dosen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Dalam diskusi itu, Mba Saras Dewi membuat makalah yang berjudul Tubuh Perempuan; Suatu Resistensi Terhadap Metanarasi. Di dalam pembahasan makalahnya, Saras Dewi membagi atas 3 bagian:
1. Tubuh Alien
2. Atas Nama Keindahan
3. Seni & Pembebasan.
Dalam tubuh alien, Saras Dewi menjelaskan bagaimana konsep tubuh perempuan selalu datang dari otoritas diluar dirinya. Mengapa alien? Karena wanita mengalami dua alienasi. Pertama, merasa asing yang tentunya berbeda dengan laki-laki. Dan yang ke-2, merasa asing dengan dirinya sendiri. Namun alienasi ini sangat berbahaya bagi perempuan, mengapa? Karena the other dari perempuan, membuat kesadarannya berjarak dari kesadaran tentang tubuhnya. Saras Dewi pun menjelaskan tubuh perempuan bukanlah sebuah tubuh individual. Tubuh perempuan milik sosial, tubuh yang seharusnya menjadi aktualisasi kebebasan seseorang, kini telah dikonstruksikan oleh hukum agama, kesantunan, dll. Tubuh perempuan sudah ditentukan oleh budaya patriarki, ia selalu menjadi objek yang diluar, asing, tidak alamiah dan komplementer bagi lelaki. Hal itulah yang menyebabkan perempuan merasa asing dengan tubuhnya sendiri.
Saras Dewi juga mengkritik sebuah kutipan Basoeki Abdullah. “Perempuan itu lebih cocok dilukis daripada sebagai pelukis”. Dari kutipan itu, Saras Dewi meenjelaskan dua sisi yang berbeda. Disatu sisi perkataan, kutipan ini sangat menyanjung wujud perempuan sebagai objek seni yang indah, tetapi di sisi yang sesungguhnya, perempuan tidak dianggap layak menjadi subjek yang memiliki gagasan ketika di hadapan sebuah kanvas. Basoeki Abdullah hanya melihat perempuan sebatas permukaan kulitnya. Ia (perempuan) tidak dianggap sebagai subjek yang berpikir dan memiliki sensibilitas.
Keindahan tidak selalu menjadi pujian untuk perempuan. Justru terdapat sebuah permainan yang subtil, indah = benar = baik = santun, hingga menjadi sebuah identitas yang dikonstruksikan.
Dibagian penutup Saras Dewi menegaskan bahwa seni, menjadi instrument paling penting dalam mengangkat isu-isu feminisme, yang telah menjadi mediun bagi narasi-narasi partikular. Seni juga berguna untuk melawan grand narasi atau metanarasi yang mengkulturkan perempuan. Seni itu sendiri berfungsi untuk meretas ruang baru untuk memahami tubuh perempuan.
Sesi lanjutan dari diskusi itu adalah tanya-jawab. Dalam sesi ini pembicaraan tentang wacana gender seni rupa di Indonesia berjalan lebih mendalam dan sangat menarik, hingga akhirnya forum tuklar pendapat itu harus ditutup meski beberapa hadirin perlu melakukan pembahasan lebih lanjut.
Written : Dimzkribs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar